Perkembangan ilmu pengetahuan yang meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan manusia termasuk kesenian yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Dalam perkembanganya seni budaya ikut bergerak seirama dengan derap seni dalam alam modern, meskipun demikian perkembangan tersebut masih sangat dibatasi oleh kemampuan masing-masing, serta tak lepas dari keuletan dan kelincahan para seniman, penggiat dan pecinta seni budayanya.
Kemampuan berkembang merupakan power yang tersembunyi dalam tiap-tiap kesenian. Kemampuan berkembang yg dimiliki merupakan unsur utama dalam keberlangsungan agar setiap kelompok seni bisa secara eksis mempertahakan dan mengembangkan seni itu sendiri. Kemampuan berkembang yang minimum akan berakibat kemungkinan menghadapi macet. Sebagai contoh
Seni lesung (kothekan), seni trebang (selawatan), gong gumbeng, seni gembungan (Madiun), semuanya tidak menunjukan perkembangan maju karena proses regenerasinya sangat sedikit disebabkan kurang daya tariknya terhadap kelompok muda untuk bergabung dan memperkuat seni tersebut sehingga menjadi punah, kalau sudah demikian kesenian tersebut hanya tinggal nama saja.
Kalau kita perhatikan bagaimana kesenian lain seperti, ludruk, wayang, reog/jaranan dan ketoprak sejak tahun 1918 kesenian tersebut memiliki proses regenerasi yg secara kontinyu.
Untuk lebih jelasnya saya ambil contoh kesenian wayang, dalam perjalanan kesenian wayang mengalami metamorfose sehingga kesenian wayang saat ini sangatlah berbeda dengan kesenian wayang tempo dulu.
Menurut Mr. L. Serrurier dalam bukunya : De Wayang Purwa ( liat buku kawruh ringgit, hal.101) menyatakan, bahwa wayang dilahirkan hanya berupa gambar rokh nenek moyang yang dilukis dalam daun tal (ron tal, atau lontar) oleh Prabu Jayabaya di Mamenang Tahun 939 kemudian mengalami kemajuan dilukis di atas kertas jawi dan pada akhirnya berkembang menjadi wayang beber.
Dalam menuju ke wayang sempurna melewati berbagai fase jenis wayang, misalnya, wayang beber, wayang gedog, dll.

Dengan berlakunya UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Pemerintah telah menjalankan fungsinya melalui Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Untuk mengetahui perkembangan kesenian reog ponorogo dari jaman ke jaman sangat tepat jika kita harus mengetahui lebih dahulu bagaimana bentuk kesenian reog tersebut di ciptakan. Sampai saat ini para seniman dan budayawan reog belum mengetahui bagaimana bentuk kesenian reog itu ketika dilahirkan, apakah kesenian reog ini pernah mengalami metamorfose seperti halnya wayang. Hal ini yang seharusnya kita telusuri kembali sejak kesenian ini diciptakan hingga sampai saat ini kesenian reog bisa berkembang dengan baik. Metamorfose yang terjadi pada kesenian reog sekitar tahun 1940 dimana pada saat itu kesenian reog dalam pertunjukannya sudah menghilangkan penari yang ada dibelakang penari barongan (dadak merak), penari ini pada tempo dulu hanya memegang sehelai ujung kain yang pangkalnya melekat pada kepala harimau bagian belakang, kalau ujung kain ini ditarik oleh penari pemegang kain maka akan terbentuk sebuah tubuh harimau, penari ini mengikuti gerak dari penari pembarong.


Oleh karena penari ini dianggap mengganggu keleluasaan gerak penari pembarong maka penari ini dihapuskan.
Karena bentuk reog yang pertama belum diketahui, maka sebaiknya usaha untuk menelusuri kembali jejak-jejak bentuk kesenian reog pertama kali diciptakan lebih di intensifkan.

Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di negeri ini reog sebagai suatu kesenian tanpa ada perhatian yang baik tentang kehidupanya. Pengembangan dan perkembanganya tidak mendapatkan bimbingan fasilitas dari pemerintah saat itu, sehingga perkumpulan reog didesa-desa tidak bisa mewujudkan kelompok – kelompok yang terorganisir dengan baik sehingga tingkat kehidupan serta perkembangan mutu seninya tidak menunjukan laju yang meningkat.
Pengaruh mistis yang dimiliki menjadi faktor penghambat dalam perkembangan seni reog kedepan. Ilmu kebal menjadi suatu kebanggaan lebih- lebih dengan masuknya politik dalam kesenian reog yang berakibat sering terjadi adu domba antar perkumpulan reog terjadilah pertumpahan darah dan korban nyawa sia-sia.
Pada saat itu pemerintah Belanda mengalami kesulitan dalam menciptakan keamanan yang kondusif karna pegawai – pegawai kolonial banyak memperoleh ancaman dan gangguan oleh kelompok-kelompok kesenian yang dipimpin oleh Demang atau Palang yang pada umumnya mereka adalah warok.
Akhirnya pemerintah Belanda harus membubarkan kelompok seni dan warok-warok karna dianggap sebagai pemberontak serta mengancam keberadaan pemerintaan belanda di Indonesia.
Kelompok-kelompok yg dibubarkan oleh pemerintah Belanda saat itu adalah kelompok reog Kampak Patik, Patik adalah nama sebuah desa di Kecamatan Pulung Ponorogo.
Seni yang luhur sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana seni pengembangan kearah yang lebih baik dan tidak mendapat pembinaan maupun fasilitas khusus, tidak mengherankan jika kesenian reog saat itu tidak mengalami peningkatan mutu, meskipun demikian reog sudah menuangkan semangat juang kedalam jiwa dan raga seniman reog sebagai putra daerah Ponorogo sebagai kota lahirnya kesenian reog ponorogo.

Pada saat pendudukan Pemerintahan Jepang di Indonesia perkumpulan dan kegiatan kesenian reog dapat dikatakan lenyap sama sekali hal ini menyebabkan pudarnya semangat juang sebagaimana harapan ide penciptanya, bahkan sifat kepahlawanan yang telah ditanam dalam jiwa seniman reog telah layu dan mati, ini sebagai akibat bentuk penjajahan pemerintah Jepang yang mewajibkan bagi penduduk pribumi untuk kerja paksa dan bayar upeti sebagai kewajiban pada pemerintah jepang, sehingga rakyat pada saat itu kebebasan untuk berkumpul juga sangat dibatasi.

Perkumpulan reog dapat tumbuh kembali setelah dikumandangkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sejak saat itu hampir disetiap pelosok desa memiliki perkumpulan kesenian reog ponorogo.

Kuantitas organisasi reog pada saat proklamasi 17 Agustus 1845 cukup baik adanya namun dalam segi kualitas belum menampakan kemajuan yang sinifikan karena fungsi reog yang dominan pada saat itu hanya sebagai alat penggerak masa dan kendaraan politik bagi partai politik yang saat itu disebabkan kuatnya arus revolusi yang sedang gigih dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagai bangsa Indonesia yang baru lahir pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 harusnya bersatu padu semua elemen masyarakat dari sabang sampai merauke untuk menyusun kekuatan agar kemerdekaan RI semakin kuat dan kokoh, namun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan, kesenian reog diseret dalam perjuangan politik yang berakibat para seniman reog tidak lagi meningkatkan mutu seni/Seni bukan untuk seni melainkan seni sebagai alat propaganda/perjuangan partai politik dalam kata lain seniman reog masuk perangkap dalam politik praktis.
Pada tahun 1948 terkenal dengan peristiwa PKI Madiun yang di pimpin oleh Muso, bagunan kokoh seniman reog menjadi pudar dan senyap sebagai akibat termakan situasi politik pada saat itu.
Sejarah terus berjalan, kesenian reog juga ikut berdampak dalam perjalanan politik yg tidak menentu pada saat itu, menjelang tahun 1965 terhempas dalam perjalanan sejarah yang sangat kelam dan menyedihkan, kesenian reog terkotak-kotak menjadi empat (4) kelompok besar seperti Barisan Reog Nasional (BREN), Cabang Kesenian Reog Agama (CAKRA), Barisan Reog Ponorogo (BRP), Kesenian Reog Islam (KRIS), kelompok ini masuk dalam perangkap akibat perkembangan rana politik di negeri ini lagi carut marut.
Maka sesudah tahun 1965 orde lama tumbang digantikan dengan orde baru untuk sementara waktu perkumpulan reog dihentikan kegiatanya.
Melalui peristiwa tersebut menjadi bahan pembelajaran bahwa kesenian reog perlu adanya unsur pembinaan yang baik dengan harapan dapat mendudukan kesenian tersebut sebagaimana fungsinya, sangatlah disayangkan bila kesenian daerah ini kemudian terlepas dari ide penciptanya lebih-lebih kita memperhatikan akan pentingnya budaya dalam semua aspek instrumen pembangunan agar keseimbangan ekologi budaya dapat dipertahankan.
Beberapa kelebihan dari kesenian reog ponorogo dapat diandalkan dalam usaha membangun dan memajukan negara dan bangsa.
Pada saat kegiatan terhenti, maka terbitlah beberapa literasi dan brosur2 tentang reog ponorogo, diantaranya :

1. Reog Ponorogo, oleh Soetomo.
2. Klono Sewandono, oleh Anjar Any.
3. Bebana Kang Nuwuake Pepati, oleh Sornardi S.H.S.

Pengaruh buku-buku ini sangat besar sekali terhadap perkembangan dan kreasi dari seniman reog.

Dalam perjalanan sejarah reog ponorogo telah berkembang semakin jauh, dan sampailah pada akhir periode periode peningkatan seni pada umumnya. Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari 325 desa lebih hampir semua pelosok desa maupun kota telah memiliki kelompok sanggar kesenian reog ponorogo, kegemaran masyarakat terhadap kesenian reog makin meningkat sehingga dalam 1 desa memiliki lebih dari satu kelompok sanggar seni reog ponorogo.
Untuk meningkatkan kualitas tampilan serta memicu kreatifitas dari kelompok sanggar seni reog ponorogo pemerintah Kabupaten Ponorogo telah memfasilitasi diselenggarakan Festifal Reog Ponorogo (FRN) yang diselenggarakan secara nasional dan diikuti dari berbagai perkumpulan reog ponorogo baik dari Kota/Kabupaten se Indonesia.
Demikian sekilas perkembangan reog ponorogo dari masa ke masa, maka makin jelas bahwa betapa besar pengaruh serta perannya ciri – ciri


khas dan ciri – ciri khusus kesenian reog dalam kehidupanya. Perjalanan sejarah kesenian reog yang sempat melejit dan putus putus sekalipun demikian perkembangan baik untuk kedepannya masih memiliki harapan yang menggembirakan. Kesenian reog sebagai seni demi kelestariannya diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan jaman.

To be continue ……..

Latar Belakang Kesenian Reog Ponorogo. (Part.5)

Rahayu sagung dumadi.

Salam budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *