Falsafah Tembang (Mocopat) Durma Terkait Dengan Fase Kehidupan Manusia
Dalam mengarungi perjalanan hidup manusia tak lepas akan menghadapi suatu fase di mana seolah-olah ia berada dalam suatu keadaan yang sangat dilematis. Ibaratnya “maju kowe tatu, mundur kowe ajur”. Artinya, orang tersebut mengalami keadaan seperti “maju-mundur”, penuh keraguan, tantangan berat dan menghadapi masalah yang sangat pelik. Barangkali berkaitan dengan masalah perekonomian, rumah tangga, karir, keyakinan paradigma, dan seterusnya. Jadi, secara umum fase “Durma” ini dihadapi hampir oleh semua manusia.
Baca Juga : Inilah Keunikan Budaya Nusantara
Secara khusus, sebenarnya fase Durma ini merupakan refleksi perjalanan “Manungsa Utama” (Manusia Sejati), sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, yang tolok ukurnya adalah Perjuangan ke arah Nilai-nilai Luhur, seperti Kebenaran, Keadilan, Kejujuran, Kemuliaan Batin, Kemerdekaan, dan seterusnya.
Nampaknya, Pujangga Jawa menggambarkan peristiwa kesulitan yang dihadapi oleh “Manungsa Utama” tersebut dengan fase Durma (berasal dari kata Bahasa Jawa: “Dur” = munDur, Ma = Maju). Jadi, Durma bermakna Maju-Mundur alias ragu-ragu, was-was, tidha-tidha dalam mengarungi kehidupannya. Semakin berat/tinggi tanggung jawab yang harus diemban dan dipikul oleh seorang manusia, maka hal tersebut akan menyebabkan semakin besarnya rintangan dan tantangan yang harus dihadapinya. Penuh kekhawatiran dan keraguan. Sanggupkah ia menjalani tantangan hidup yang berat ini.
Ada beberapa Sastrawan Jawa yang memaknai fase Durma ini sebagai tanda bahwa seorang anak manusia yang memasuki usia remaja, ke-“aku”-annya mulai timbul, sehingga (sebenarnya sudah) mulai dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi yang menjadi penghalang terbesar adalah kurang dimilikinya rasa duga-prayoga (tolok ukur sopan santun/tata krama).
Secara manusiawi pun, para ulama dan umara’, tidak jarang, sesekali mereka juga mengeluh atas kondisi kehidupan yang carut-marut (pada fase) ini. Sedangkan istri-istri Kanjeng Nabi Saw pun yang disebut sebagai “Ummul Mukminin” juga masih tertarik untuk meminta sebagian dari harta rampasan perang kepada sang suami (Rasulullah Saw), tetapi setelah disadarkan oleh Kanjeng Nabi Saw, mereka pun tercerahkan.
Dalam kehidupan ini, ada kalanya seseorang diposisikan oleh Allah SWT ke dalam keadaan “qabd” (sempit) dan ada kalanya pula ia berada dalam posisi “bast” (lapang). Ulama kenamaan Syech Atho’illah Asy-Syaukandari, dalam kitab “Hikam”-nya, menjelaskan bahwa ketika seseorang berada dalam posisi qabd (sempit, gelap), hendaknya ia menenangkan dirinya dan bersabar menunggu datangnya fajar. Sebaliknya, jika seseorang diposisikan dalam bast (lapang, terang), maka ia hendaknya meningkatkan kehati-hatiannya serta banyak bersyukur kepada Allah SWT.
Nampaknya para tabi’in masa dulu terinspirasi dari Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 190, yaitu:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
Kemudian menafsirkan malam sebagai “qabd” (sempit) dan siang adalah “bast” (lapang). Karena Allah SWT telah merumuskan silih bergantinya malam dan siang. Dengan demikian dua keadaan “qabd” dan “bast” tersebut merupakan keniscayaan. Artinya, setiap orang pasti mengalami keadaan “sempit” dan keadaan “lapang”, yang penting adalah bagaimana seseorang menghadapi keadaan (monodualisme) tersebut.
Para tabi’in zaman dulu banyak yang menggali dua potensi tadi, yakni malam (qabd) dan siang (bast). Ternyata, kesimpulan para tabi’in tadi menyatakan bahwa keduanya mempunyai potensi yang seimbang, baik kelebihannya maupun kekurangannya.
Kanjeng Nabi Saw bersabda, bahwa syukur dan sabar itu adalah separuh ibadah. Artinya, jika seseorang sudah menerapkan syukur dan sabar dalam kehidupannya sehari-hari, maka sempurnalah ibadahnya. Demikianlah memang, keadaan bast adalah pengejawantahan dari syukur, Sedangkan qabd identik dengan kesabaran/keteguhan.
Semoga tulisan ini punya nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Salam budaya.
Rahayu.